apa itu diskresi

Pengertian Diskresi: Syarat dan Batasan Hukum dalam UU AP

Picture of Adi Surya Wijaya, SH, MH

Adi Surya Wijaya, SH, MH

Lawyer ILS Law Firm

Pahami pengertian diskresi menurut UU Administrasi Pemerintahan. Artikel ini membahas syarat, batasan hukum, dan ketentuan pasal yang mengatur penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintah.

Pengantar

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, tidak semua situasi dapat diatur secara rinci oleh peraturan perundang-undangan. Untuk mengatasi persoalan konkret yang tidak diatur, tidak lengkap, atau tidak jelas dalam peraturan, pejabat pemerintahan diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi. Namun, penggunaan diskresi harus memenuhi syarat dan batasan hukum tertentu agar tidak disalahgunakan

Pengertian Diskresi

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP):

“Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”

Diskresi memberikan ruang bagi pejabat untuk bertindak dalam situasi yang tidak sepenuhnya diatur oleh hukum, dengan tujuan menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

Tujuan Penggunaan Diskresi

Pasal 22 ayat (2) UU AP menetapkan bahwa penggunaan diskresi bertujuan untuk:

  1. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
  2. Mengisi kekosongan hukum;
  3. Memberikan kepastian hukum; dan
  4. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Keempat tujuan ini harus menjadi dasar dalam setiap penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan.

Ruang Lingkup Diskresi

Pasal 23 UU AP menjelaskan bahwa diskresi meliputi:

  • Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan;
  • Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
  • Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
  • Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Diskresi dapat digunakan dalam situasi-situasi tersebut untuk memastikan kelangsungan fungsi pemerintahan.

Syarat Penggunaan Diskresi

Agar penggunaan diskresi sah secara hukum, Pasal 24 UU AP menetapkan bahwa pejabat pemerintahan harus memenuhi syarat-syarat berikut:

  • Sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
  • Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
  • Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
  • Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
  • Dilakukan dengan itikad baik.

Memenuhi syarat-syarat ini penting untuk memastikan bahwa diskresi digunakan secara bertanggung jawab dan tidak disalahgunakan.

Prosedur Penggunaan Diskresi

Pasal 25 hingga Pasal 28 UU AP mengatur prosedur penggunaan diskresi, terutama yang berpotensi mengubah alokasi anggaran atau menimbulkan dampak signifikan:

  • Pejabat harus menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan dari diskresi yang akan dilakukan.
  • Pejabat wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada atasan pejabat.
  • Atasan pejabat harus memberikan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima.
  • Dalam keadaan darurat, mendesak, atau bencana alam, pejabat dapat melakukan diskresi dengan pemberitahuan kepada atasan dan melaporkan secara tertulis setelah pelaksanaan.

Prosedur ini memastikan bahwa diskresi digunakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Akibat Hukum Penyalahgunaan Diskresi

Penggunaan diskresi yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Pasal 30 hingga Pasal 32 UU AP mengatur akibat hukum dari penyalahgunaan diskresi:

  • Diskresi yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak sah.
  • Diskresi yang tidak sesuai dengan tujuan wewenang atau bertentangan dengan AUPB dapat dibatalkan.
  • Diskresi yang dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dan tidak sah.

Oleh karena itu, penting bagi pejabat untuk memahami dan mematuhi ketentuan hukum dalam menggunakan diskresi.

Diskresi sebagai Objek Sengketa di PTUN

Diskresi yang dilakukan tanpa memenuhi syarat dan prosedur yang ditetapkan dapat menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masyarakat yang dirugikan oleh penggunaan diskresi yang tidak sah berhak mengajukan gugatan untuk pembatalan keputusan atau tindakan tersebut.

Penutup

Diskresi merupakan alat penting bagi pejabat pemerintahan untuk mengatasi situasi yang tidak diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Namun, penggunaan diskresi harus memenuhi syarat dan prosedur yang ditetapkan dalam UU Administrasi Pemerintahan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Dengan memahami pengertian, syarat, dan batasan hukum diskresi, pejabat dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan bertanggung jawab.

Konsultasi Sengketa PTUN bersama ILS Law Firm

Jika Anda menghadapi sengketa tata usaha negara terkait penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan, ILS Law Firm siap membantu Anda. Kami menyediakan layanan konsultasi hukum untuk menganalisis legalitas tindakan pejabat, menyusun gugatan, dan mendampingi Anda dalam proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kontak ILS Law Firm:
Telepon / WhatsApp: 0813-9981-4209
Email: info@ilslawfirm.co.id
Website: www.ilslawfirm.co.id

ILS Law Firm, solusi hukum Anda dalam menghadapi persoalan administrasi negara dan penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Publikasi dan Artikel

ILS Law Firm menyediakan tulisan-tulisan sebagai sarana edukasi dan panduan penyelesaian permasalahan terbaik dengan tingkat obyektifitas setinggi mungkin.