Perundingan bipartit merupakan langkah awal yang wajib ditempuh dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Proses ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah tanpa melibatkan pihak ketiga. Berikut adalah panduan lengkap mengenai langkah-langkah melakukan perundingan bipartit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian Perundingan Bipartit
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Dasar Hukum Perundingan Bipartit
Beberapa peraturan yang menjadi dasar hukum perundingan bipartit antara lain:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.
Jenis Perselisihan yang Dapat Diselesaikan Melalui Bipartit
Perundingan bipartit dapat dilakukan untuk menyelesaikan berbagai jenis perselisihan hubungan industrial, di antaranya:
- Perselisihan hak, seperti masalah upah, tunjangan, dan hak-hak lainnya.
- Perselisihan kepentingan, misalnya perubahan syarat kerja.
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
- Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Tahapan Perundingan Bipartit
Berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam perundingan bipartit:
- Permintaan Perundingan Pihak yang merasa dirugikan mengajukan permintaan perundingan secara tertulis kepada pihak lainnya. Permintaan ini harus dilakukan dengan itikad baik dan mencantumkan pokok permasalahan yang akan dibahas.
- Penyelenggaraan Perundingan Perundingan dilakukan antara wakil pekerja atau serikat pekerja dengan wakil pengusaha. Kedua belah pihak harus bersikap santun, tidak anarkis, dan menaati tata tertib perundingan yang disepakati.
- Batas Waktu Perundingan Perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama dalam 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, perundingan dianggap gagal.
- Dokumentasi Hasil Perundingan Hasil perundingan bipartit harus dituangkan dalam dokumen tertulis, baik berupa Perjanjian Bersama (jika berhasil) atau Risalah Gagal Perundingan (jika tidak berhasil). Dokumen ini menjadi bukti sah dalam proses hukum selanjutnya.
Syarat-Syarat Perundingan Bipartit
Agar perundingan bipartit sah dan efektif, syarat-syarat berikut harus dipenuhi:
- Kehadiran kedua belah pihak yang berselisih.
- Musyawarah untuk mufakat.
- Adanya itikad baik dari kedua belah pihak.
- Waktu pelaksanaan sesuai ketentuan yang berlaku.
Langkah Setelah Perundingan Bipartit Gagal
Jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah itu, instansi tersebut akan menawarkan penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.
Pentingnya Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit merupakan langkah awal yang penting dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan melakukan perundingan bipartit, kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah secara damai dan menghindari proses hukum yang lebih panjang dan kompleks.
Konsultasi Hukum ILS Law Firm
Jika Anda membutuhkan bantuan dalam proses perundingan bipartit atau memiliki pertanyaan seputar hukum ketenagakerjaan, Anda dapat menghubungi ILS Law Firm melalui:
- WhatsApp: 0812-3456-7890
- Email: info@ilslawfirm.co.id