Rumah sakit dan klinik sebagai fasilitas pelayanan kesehatan wajib menjalankan praktik kedokteran secara profesional, legal, dan sesuai standar. Salah satu bentuk kepatuhan hukum yang harus diperhatikan adalah memastikan seluruh dokter dan tenaga kesehatan memiliki izin praktik yang sah.
Lantas, apa akibat hukumnya jika rumah sakit atau klinik mempekerjakan dokter atau tenaga medis tanpa Surat Izin Praktik (SIP)? Artikel ini mengulas secara lengkap dasar hukum, jenis sanksi, dan tanggung jawab korporasi menurut UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Definisi Rumah Sakit dalam UU Kesehatan
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 17 Tahun 2023, rumah sakit adalah:
“Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan secara paripurna melalui pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.”
Rumah sakit wajib memberikan layanan yang aman, bermutu, dan sesuai standar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189 ayat (1) huruf b UU yang sama.
Izin Praktik bagi Dokter dan Tenaga Kesehatan
Setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sebelum menjalankan pelayanan medis.
Berdasarkan Pasal 682 ayat (2) PP No. 28 Tahun 2024, disebutkan bahwa:
“SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik, kecuali dokter dan dokter gigi dapat praktik di tiga tempat dengan memenuhi syarat tertentu.”
Tujuan utama aturan ini adalah perlindungan pasien dan jaminan mutu layanan medis.
Larangan Mempekerjakan Tenaga Medis Tanpa Izin
Sesuai Pasal 312 huruf c UU No. 17 Tahun 2023, ditegaskan:
“Setiap orang dilarang melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tanpa memiliki STR dan/atau SIP.”
Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan hanya melanggar etika medis, tapi juga berakibat pidana.
Sanksi Bagi Rumah Sakit atau Klinik
Menurut Pasal 442 UU No. 17 Tahun 2023:
“Setiap orang yang mempekerjakan tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan yang tidak mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Artinya, rumah sakit, klinik, atau pengelola fasilitas kesehatan dapat dikenai pidana penjara dan/atau denda apabila melanggar ketentuan tersebut.
Tanggung Jawab Korporasi
Jika pelanggaran dilakukan oleh korporasi (misalnya badan hukum pengelola rumah sakit), maka sanksi tidak hanya dijatuhkan kepada individu, tetapi juga berlaku pada entitas korporasi.
Berdasarkan Pasal 447 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023, korporasi dapat dikenakan denda maksimal:
- Rp 2 miliar jika ancaman pidana di bawah 7 tahun
- Rp 5 miliar jika ancaman pidana antara 7–15 tahun
- Rp 50 miliar jika ancaman pidana di atas 15 tahun atau hukuman mati
Selain itu, menurut Pasal 448, korporasi juga bisa dijatuhi pidana tambahan, berupa:
- Pembayaran ganti rugi
- Pencabutan izin
- Penutupan usaha sebagian atau seluruhnya
Contoh Skenario Pelanggaran
Misalnya, sebuah klinik swasta mempekerjakan dokter lulusan baru tanpa mengantongi SIP. Dokter tersebut melakukan tindakan medis dan menyebabkan kerugian pada pasien. Klinik tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban hukum karena mengizinkan praktik medis tanpa izin yang sah.
Kesimpulan
Rumah sakit dan klinik harus memastikan legalitas setiap tenaga medis yang bekerja, termasuk memiliki STR dan SIP yang aktif. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga pidana, yang dapat menjerat baik secara pribadi maupun korporasi.
Ingin Konsultasi Hukum Kesehatan?
Jika Anda adalah pengelola fasilitas kesehatan dan membutuhkan pendampingan hukum terkait perizinan praktik atau menghadapi masalah hukum medis, tim ILS Law Firm siap membantu.
📞 Telepon / WhatsApp: 0813-9981-4209
📧 Email: info@ilslawfirm.co.id
🌐 Website: www.ilslawfirm.co.id
Konsultasi awal gratis, profesional, dan terpercaya.