Pengertian Warisan Menurut Islam
Warisan dalam Islam adalah harta peninggalan (tirkah) yang ditinggalkan seseorang setelah wafat, untuk kemudian dialihkan kepada ahli warisnya. Pembagian warisan ini dilakukan setelah dipenuhi kewajiban seperti wasiat, pelunasan utang, dan biaya pemakaman pewari. Hukum waris Islam bersumber dari Al-Qur’an (antara lain Surah An-Nisa’) dan Hadis, yang menetapkan dengan terperinci siapa saja ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Di Indonesia, ketentuan ini diakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) – sebuah perangkat hukum yang menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara warisan umat Islam.
Secara umum, prinsip kewarisan Islam menjunjung asas keadilan dengan porsi tertentu untuk kerabat terdekat. Anak-anak menempati posisi utama sebagai ahli waris orang tuanya. Hal ini berarti ketika orang tua meninggal, anak kandung wajib mendapatkan bagian harta sesuai aturan yang berlaku. Untuk memastikan pembagian tersebut adil, Islam memberikan panduan jelas mengenai besarnya bagian anak laki-laki dan anak perempuan, serta mempertimbangkan keberadaan ahli waris lain seperti suami/istri (pasangan) dan orang tua pewaris.
Kedudukan Anak sebagai Ahli Waris Menurut KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 174 mengatur siapa saja yang termasuk ahli waris. Pasal 174 ayat (1) KHI menyebut bahwa ahli waris terdiri dari kerabat hubungan darah dan kerabat hubungan perkawinan. Golongan kerabat darah meliputi:
- Ahli waris laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.
- Ahli waris perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
Sedangkan dari hubungan perkawinan adalah duda atau janda (suami atau istri pewaris).
Pasal 174 ayat (2) KHI menegaskan bahwa apabila semua golongan ahli waris tersebut ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, serta janda atau duda pewaris. Artinya, anak kandung menempati kedudukan penting sebagai ahli waris inti yang tidak bisa dikesampingkan oleh kehadiran kerabat lain yang lebih jauh.
Selanjutnya, Pasal 176 KHI secara khusus mengatur porsi atau bagian yang diterima anak sebagai ahli waris, berdasarkan jenis kelamin. Aturan ini sejalan dengan prinsip syariat Islam bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki porsi yang berbeda. Adapun bunyi Pasal 176 KHI adalah sebagai berikut:
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Ketentuan di atas menegaskan bahwa anak laki-laki memperoleh bagian warisan dua kali lebih besar daripada anak perempuan. Pembagian inilah yang menjadi pedoman dasar dalam menghitung warisan untuk anak, dengan tetap mempertimbangkan keberadaan ahli waris lainnya. Selanjutnya, kita akan membahas cara perhitungan konkret pembagian warisan untuk anak dalam berbagai kondisi keluarga.
Cara Hitung Pembagian Harta Warisan Anak Menurut Islam
Pembagian harta warisan kepada anak dilakukan dengan prinsip-prinsip di atas. Namun, cara menghitung pembagian harta warisan anak menurut Islam dapat berbeda tergantung komposisi ahli waris yang ditinggalkan pewaris (orang tua yang meninggal). Berikut beberapa skenario umum dan panduan menghitung bagiannya:
Jika Terdapat Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan
Apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan sekaligus, maka berlaku ketentuan 2:1 sesuai Pasal 176 KHI. Maksudnya, setiap anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan setiap anak perempuan mendapat satu bagian.
Cara menghitungnya: Jumlahkan total bagian dengan menganggap setiap anak laki-laki = 2 bagian dan setiap anak perempuan = 1 bagian. Misalnya, jika ada 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, total bagian = 2 (untuk laki-laki) + 1 (untuk perempuan) = 3 bagian. Dengan demikian, anak laki-laki mendapat 2/3 (dua pertiga) dari harta warisan, dan anak perempuan mendapat 1/3 (sepertiga). Contoh lain, jika terdapat 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, total bagian = (2+2) untuk dua laki-laki + (1+1+1) untuk tiga perempuan = 7 bagian. Dalam kasus tersebut, masing-masing anak laki-laki memperoleh 2/7 dari harta warisan, sedangkan masing-masing anak perempuan memperoleh 1/7. Secara nominal, jika misalnya harta warisan bersih Rp700 juta, maka:
- Setiap anak laki-laki mendapat 2/7 × Rp700 juta = Rp200 juta.
- Setiap anak perempuan mendapat 1/7 × Rp700 juta = Rp100 juta.
Dengan rumus di atas, Anda dapat menyesuaikan angka sesuai jumlah anak laki-laki dan perempuan yang ada. Intinya, bagian anak laki-laki selalu dua kali lipat bagian anak perempuan. Pembagian ini sudah ditetapkan syariat untuk menjaga keseimbangan tanggung jawab, mengingat dalam hukum Islam anak laki-laki kelak memikul kewajiban nafkah keluarga yang lebih besar.
Jika Hanya Terdapat Anak Perempuan Saja
Bagaimana jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki, hanya meninggalkan anak perempuan? Dalam kondisi ini, bagian anak perempuan ditentukan oleh jumlahnya:
- Jika anak perempuan tunggal (hanya satu orang): ia berhak atas 1/2 (seperdua) bagian harta warisan.
- Jika anak perempuan lebih dari satu (dua orang atau lebih): mereka bersama-sama berhak atas 2/3 (dua pertiga) bagian harta warisan, yang kemudian dibagi rata di antara mereka.
Contohnya, jika pewaris meninggalkan 1 anak perempuan saja dan tidak ada anak laki-laki, maka anak perempuan tersebut mendapat setengah dari total harta warisan. Jika pewaris meninggalkan 3 anak perempuan (tanpa anak laki-laki), ketiganya secara bersama mendapatkan 2/3 dari harta, sehingga masing-masing memperoleh 2/3 ÷ 3 = 2/9 (dua per sembilan) bagian dari total harta. Sisa harta warisan (setelah dialokasikan 1/2 atau 2/3 untuk anak perempuan) akan diberikan kepada ahli waris lain sesuai ketentuan – misalnya kepada orang tua pewaris atau saudara pewaris sebagai ahli waris pendamping sesuai urutannya.
Perlu diingat, aturan 1/2 dan 2/3 tersebut berlaku hanya jika tidak ada anak laki-laki. Apabila terdapat anak laki-laki, maka otomatis pembagian kembali ke pola 2:1 seperti dijelaskan sebelumnya, sehingga ketentuan khusus untuk anak perempuan saja tidak digunakan.
Jika Pewaris Meninggalkan Anak, Pasangan, dan Orang Tua
Skenario lebih kompleks terjadi jika selain anak, pewaris juga meninggalkan pasangan (suami/istri) serta orang tua (ayah/ibu kandung pewaris). Dalam kasus seperti ini, perhitungannya melibatkan porsi ahli waris garis lurus ke atas (orang tua) dan pasangan, sebelum menentukan bagian anak.
Berikut langkah pembagiannya menurut KHI dan hukum Islam:
- Bagian Pasangan: Suami atau istri pewaris mendapat bagian tertentu sebagai ahli waris golongan perkawinan. Menurut Pasal 180 KHI, janda (istri yang ditinggal wafat suami) mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian jika pewaris meninggalkan anak, sedangkan duda (suami yang ditinggal wafat istri) mendapat 1/4 (seperempat) bagian jika pewaris meninggalkan anak. (Catatan: Jika pewaris tidak meninggalkan anak, janda mendapat 1/4 dan duda 1/2 sesuai Pasal 180 KHI.)
- Bagian Orang Tua Pewaris: Ayah dan ibu kandung pewaris termasuk ahli waris dzul furudh (berhak atas bagian pasti yang ditentukan Al-Qur’an). Masing-masing orang tua mendapat 1/6 (seperenam) bagian apabila pewaris meninggalkan anak. Bagian ini diberikan kepada ayah dan ibu pewaris sebelum pembagian kepada anak-anak.
- Bagian Anak-Anak: Setelah bagian pasangan dan orang tua diambil, sisanya menjadi bagian anak-anak sebagai ahli waris asabah (ahli waris yang mengambil sisa). Cara membaginya di antara anak mengikuti ketentuan 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan seperti telah dijelaskan di atas.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ilustrasi perhitungannya. Misalkan seorang ayah meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris berupa: 1 orang istri, 1 anak laki-laki, 1 anak perempuan, serta ayah dan ibu kandung pewaris masih hidup. Misalkan total harta warisan bersih (setelah dikurangi hak pasangan atas harta bersama, jika ada) sebesar Rp144.000.000. Pembagiannya sebagai berikut:
- Istri (janda) pewaris: 1/8 × Rp144.000.000 = Rp18.000.000.
- Ayah kandung pewaris: 1/6 × Rp144.000.000 = Rp24.000.000.
- Ibu kandung pewaris: 1/6 × Rp144.000.000 = Rp24.000.000.
Sejauh ini, total yang telah diambil oleh istri dan orang tua pewaris adalah Rp18 juta + Rp24 juta + Rp24 juta = Rp66.000.000. Sisa harta yang belum terbagi = Rp144.000.000 – Rp66.000.000 = Rp78.000.000. Sisa inilah yang menjadi jatah anak-anak sebagai asabah. Dengan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, total bagian anak = 2 + 1 = 3 bagian. Maka:
- Anak laki-laki mendapat 2/3 × Rp78.000.000 = Rp52.000.000.
- Anak perempuan mendapat 1/3 × Rp78.000.000 = Rp26.000.000.
Sebagai cek, apabila dijumlahkan: Rp18 juta (istri) + Rp24 juta (ayah) + Rp24 juta (ibu) + Rp52 juta (anak laki-laki) + Rp26 juta (anak perempuan) = Rp144 juta, tepat seluruh harta terbagi. Pola pembagian seperti di atas bisa diaplikasikan pada nilai harta berapa pun dengan prinsip yang sama. Jika jumlah anak lebih banyak, atau hanya ada anak perempuan saja, tinggal menyesuaikan angka sesuai ketentuan proporsi yang berlaku.
Contoh Simulasi Pembagian Harta Warisan
Untuk lebih memahami cara hitung pembagian harta warisan anak menurut Islam, berikut ini disajikan contoh simulasi dengan angka konkrit dalam beberapa situasi:
Contoh 1: Pewaris meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan (tanpa ahli waris lain).
Seorang ibu meninggal dunia dengan harta warisan bersih Rp350.000.000. Ahli warisnya adalah 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, tanpa suami (duda) dan orang tua (misal orang tuanya sudah tiada). Sesuai aturan:
- Total bagian anak = (2×anak laki-laki) + (1×anak perempuan) = (2×2) + (1×3) = 7 bagian.
- Nilai 1 bagian = Rp350.000.000 ÷ 7 = Rp50.000.000.
- Setiap anak laki-laki mendapat 2 bagian = 2 × Rp50.000.000 = Rp100.000.000 per anak laki-laki.
- Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian = 1 × Rp50.000.000 = Rp50.000.000 per anak perempuan.
Hasilnya, dua anak laki-laki masing-masing memperoleh Rp100 juta, dan tiga anak perempuan masing-masing Rp50 juta, yang jika dijumlahkan sesuai proporsi akan menghabiskan seluruh Rp350 juta tersebut.
Contoh 2: Pewaris meninggalkan anak, pasangan, dan orang tua.
Seorang ayah meninggal dengan harta bersih Rp240.000.000. Ahli waris: istri, 1 anak laki-laki, 2 anak perempuan, serta ayah kandung pewaris (ibu pewaris sudah wafat dalam contoh ini). Langkah pembagian:
- Istri (janda) mendapat 1/8 × 240 juta = Rp30.000.000.
- Ayah pewaris mendapat 1/6 × 240 juta = Rp40.000.000. (Ibu pewaris tidak ada, jadi hanya ayah yang mendapat bagian orang tua).
- Sisa harta setelah diambil bagian istri dan ayah = 240 juta – 30 juta – 40 juta = Rp170.000.000. Inilah yang dibagi kepada anak-anak.
- Anak-anak: Terdiri dari 1 laki-laki dan 2 perempuan, sehingga total bagian anak = 2 + 1 + 1 = 4 bagian. Nilai 1 bagian = 170 juta ÷ 4 = Rp42.500.000.
- Anak laki-laki mendapat 2 bagian = 2 × 42,5 juta = Rp85.000.000.
- Masing-masing anak perempuan mendapat 1 bagian = Rp42.500.000.
- Verifikasi: Istri 30 jt + Ayah 40 jt + Anak laki-laki 85 jt + kedua anak perempuan 42,5 jt × 2 (85 jt) = 30 + 40 + 85 + 85 = Rp240.000.000 (selesai terbagi).
Dari simulasi di atas, dapat dilihat bahwa pembagian melibatkan kombinasi bagian pasti (fixed) untuk istri dan orang tua, kemudian sisanya untuk anak dengan perbandingan sesuai jenis kelamin. Setiap kasus nyata bisa memiliki variasi lain (misal jumlah anak berbeda, ada tidaknya orang tua, dll.), namun metode perhitungannya dapat mengikuti pola yang telah dicontohkan.
Penyelesaian Jika Terjadi Perselisihan Antar Anak
Pembagian warisan idealnya dilakukan secara musyawarah kekeluargaan dengan berpedoman pada aturan yang berlaku. Namun, tidak jarang muncul perselisihan antar anak mengenai pembagian harta warisan orang tua, misalnya sengketa mengenai aset mana yang menjadi bagian siapa, ketidakpuasan atas porsi yang diterima, atau adanya upaya salah satu pihak menguasai lebih dari haknya.
Jika terjadi perselisihan, langkah pertama sebaiknya mediasi keluarga dengan melibatkan pihak netral atau tokoh masyarakat/ulama untuk mencari solusi damai. Semua pihak perlu diingatkan bahwa pembagian warisan anak menurut Islam sudah memiliki ketentuan baku (anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan, dsb.), sehingga seharusnya tidak menjadi ajang perebutan di luar hak yang telah diatur. Sering kali perselisihan dapat diredam dengan pemahaman agama dan komunikasi yang baik.
Apabila musyawarah internal tidak berhasil, jalur hukum dapat ditempuh. Di Indonesia, sengketa waris bagi muslim diselesaikan di Pengadilan Agama. Para ahli waris bisa mengajukan gugatan penetapan atau pembagian waris. Pengadilan akan membagi harta sesuai KHI dan bukti silsilah yang ada. Putusan pengadilan bersifat mengikat dan dapat memaksa pelaksanaan pembagian sesuai hukum, sehingga tiap anak mendapatkan haknya secara proporsional.
Dalam proses penyelesaian sengketa, penting bagi para ahli waris (anak-anak) untuk bersikap kooperatif dan transparan mengenai harta peninggalan. Jika diperlukan, menggunakan jasa konsultan hukum atau pengacara yang paham hukum waris Islam bisa membantu memperlancar mediasi maupun proses di pengadilan. Intinya, perselisihan sebaiknya diselesaikan tanpa merusak hubungan keluarga, dan setiap anak berhak mendapatkan bagiannya sesuai ketentuan syariah serta perundangan.
Status Anak Angkat dalam Pembagian Warisan
Satu hal krusial yang perlu ditegaskan adalah mengenai anak angkat. Menurut KHI, anak angkat bukanlah ahli waris yang sah dari orang tua angkatnya. Pasal 171 huruf (h) KHI mendefinisikan ahli waris sebagai orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Karena anak angkat tidak memiliki hubungan darah, ia tidak otomatis berhak atas harta warisan orang tua angkatnya. KHI Pasal 209 ayat (2) menyatakan bahwa terhadap anak angkat yang tidak mendapat warisan, dapat diberikan wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Wasiat wajibah ini pada dasarnya adalah jalan tengah agar anak angkat memperoleh bagian kasih sayang, tanpa berstatus sebagai ahli waris langsung.
Implikasinya, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan anak angkat (tanpa ada anak kandung), secara hukum waris Islam murni anak angkat tersebut tidak dapat menuntut warisan. Harta pewaris akan dibagikan kepada kerabat sedarah lain (misalnya saudara kandung pewaris atau kerabat biologis lainnya). Anak angkat hanya bisa memperoleh bagian melalui wasiat (pesan terakhir pewaris) atau melalui wasiat wajibah 1/3 tadi yang pelaksanaannya perlu penetapan pengadilan.
Bagi keluarga yang memiliki anak angkat, solusi terbaik adalah pewaris semasa hidup membuat wasiat atau hibah untuk anak angkatnya sebagai tanda kasih, karena hukum menganggap hubungan mereka bukan hubungan waris. Dengan demikian, meskipun anak angkat tidak berhak warisan menurut KHI, kebutuhan dan kesejahteraannya tetap dapat terpenuhi melalui mekanisme lain yang sah.
Konsultasi Hukum Waris Islam
Pembagian harta warisan bisa menjadi kompleks dan sensitif. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum di bidang hukum waris Islam. ILS Law Firm memiliki tim profesional yang dapat memandu Anda melalui proses perencanaan hingga penyelesaian pembagian warisan secara adil dan sesuai syariat. Jangan ragu untuk menghubungi kami untuk konsultasi lebih lanjut mengenai permasalahan waris:
📞 WhatsApp: 0813-9981-4209
📧 Email: info@ilslawfirm.co.id